“Wah, halangan kok ya ada saja,” keluhnya dalam hati. Ia menyesal karena hari ini, apa boleh buat, bakal berlalu tanpa bisa membaca doa.
Tetapi, sudahlah. Ia tak kehilangan akal. Seadanya, sebisanya ia berdoa. “Tuhan,” katanya, “Alangkah bodohnya perbuatanku, aku pergi meninggalkan rumah tadi pagi tanpa membawa buku doa. Padahal, ya Tuhanku, Engkau Maha Tahu ingatanku begitu terbatas, begitu sederhana hingga tak secuil pun doa bisa kuucapkan tanpa buku. ”
“Tapi Engkau, wahai Yang Maha Murah, Maha Asih, tentu tak akan marah bila aku cuma bisa mengucapkan potongan-potongan huruf a-b-c, lima kali. Aku tahu, huruf-huruf itu belum punya makna sebagai do’a. Meskipun begitu aku hendak mengucapkannya pelan-pelan, dengan rasa khusu’. Dan Engkau, Yang Maha Mengetahui segalanya, termasuk doa-doa, tentu bisa mengatur sendiri huruf-huruf itu agar membentuk makna, menjadi doa yang patut bagi-Mu. Ampunilah hamba-Mu ya Tuhan. Cuma inilah yang bisa kulakukan.”
Setelah itu sang petani merasa lega. Ia merasa telah berdoa. Dan, bagaimanakah jawab Tuhan?
“Dari segenap doa yang aku dengar hari ini,” sabda Tuhan kepada para malaikat, “Doa petani miskin inilah yang terbaik, sebab ia datang dari kesederhanaan jiwa yang sungguh tunduk dan tulus.”
Tuhan tak hendak mempersulit kita. Ia ingin segalanya mudah dan enak, agar kita bahagia. Tuhan Maha Tahu, di bumi ini orang yang tahu doa dengan baik, dengan ukuran baku orang sekolahan cuma sedikit. Padahal, yang tak tahu doa itu umat-Nya juga. Yang terpenting bahwa doa, betapa pun sederhana dan tak mengikuti aturan standar, asal diucapkan dengan hati tulus, ia sampai. Itu saja.
Ilustrasi di atas melukiskan bahwa manusia sekalipun -dengan kebodohan dan kesederhanaan yang dimiliki- meminta sesuatu kepada Tuhannya dengan ikhlas dan tulus, niscaya akan dikabulkan oleh ke-Mahakuasaan dan ke-Mahalembutan Tuhan. Namun, doa yang kita panjatkan seyogyanya tidak hanya semata untuk kebahagiaan di dunia saja. Karena, setelah kehidupan dunia, masih ada satu kehidupan lagi. Kehidupan yang kekal dan abadi, yakni alam akherat.
Dalam kalangan manusia purbakala dan manusia modern, sebelum dan sesudah sejarah, di dusun sepi dan di kota ramai, bahkan di lereng gunung yang kurang perhubungan keluar, di rimba belantara raya sehingga tidak ada pertukaran pikiran dan perasaan dengan manusia di tempat lain, dalam kalangan insan yang masih sederhana sampai kepada kalangan manusia sarjana yang penuh ragu, bahkan di mana saja dan bila saja, terdapatlah satu perasaan yang sangat halus. Menyelinap dalam sanubari manusia itu, bahwasanya sesudah hidup di dunia yang sekarang ini, akan ada lagi suatu hidup lain yang lebih kekal. Di sanalah akan terdapat “keadilan sejati”, sebab di sini tidak ada “keadilan”.
Memang, di tiap zaman banyak juga orang yang menolak kepercayaan akan hidup lagi sesudah hidup yang sekarang ini. Diingkarinya dengan lidah dan logikanya, hidup ini hanya hingga inilah. Lahir ke dunia, hidup sebentar, lalu mati, habis perkara! Namun perasaan halusnya di lubuk menggores, mengingkari pula akan ingkarnya. Dia bersorak di muka orang ramai, atau menulis di satu buku tebal, tetapi kelak apabila dia telah duduk seorang diri, sanubari tadi bertanya lagi, “Apa betul tidak ada lagi hidup sesudah hidup ini”?
Transformasi Esensial
Mereka, ahli ilmu jiwa, menyatakan buah penyelidikan mereka, bahwasanya apa yang dinamai ‘ilham’ tentang hidup kekal sesudah ini, tidak lain daripada tindihan rasa rendah diri, inferiority complex manusia belaka. Setelah mereka merasa lemah dari berhadapan dengan kekuatan alam yang ada di sekelilingnya, dicari-carinya ilham untuk menambah kekurangannya. Lalu diputuskan olehnya bahwa Dia yang kekal dan alam ini yang fana. Dialah yang terus hidup dan alam ini yang mati. “laksana burung,” kata mereka, “terbang jauh-jauh ke langit, akhirnya ke tanah jua. Maka burung terbang itulah yang memberikan “ilham” kepada manusia bahwa mereka akan kekal”.
“Alam ini,” kata mereka, “penuh dengan suka duka, lancar tertumbuk, lalim dan adil. Alam penuh dengan serba kekurangan. Sedang insan mempunyai tabiat hendak menguasai sesuatu. Insan penuh angan-angan hendak memperbaiki yang rusak, hendak mencapai yang lebih sempurna. Maka, oleh karena dirinya yang kecil dan tak berkuasa serta memiliki kekuatan terbatas dan umurnya pendek, yang dapat dicapainya hanya sedikit.” Kalau kita berbuat, janganlah semata mengharapkan ganjaran di sini. Terlontar ganjaran dan energi yang lebih sejati dan hakiki kelak. Seakan berinvestasi di alam maya.
Kini, babak baru segera dimulai. Sejarah seakan melapangkan dada membuka kesempatan bagi setiap jiwa untuk bertransformasi. Cahaya baru mulai memancar dari ufuk timur dan mulai merangkak ke kota dan desa. Mulut mulai menyungging senyum menyapa sejarah dan babak baru. Mercusuar pengharapan pun mulai tegak berdiri menantang setiap jiwa yang haus akan perubahan. Perubahan yang sejatinya mampu menghantarkan kita pada keberadaan yang lebih esensial.
Ya, tahun baru mulai merangsang bahkan mengajak kita untuk duduk berdampingan memetik asa. Asa yang sebelumnya tersirat di lembaran lama untuk kembali ditulis lebih indah dari sebelumnya. Tak beda sebuah kanvas, setiap pelukis diberikan keleluasaan melukiskan karyanya. Persoalannya, goresan tinta seperti apa yang hendak kita torehkan ? Bagaimanapun, setiap pelukis tentu mengharap setiap karyanya menjadi masterpiece dari yang lain dan sebelumnya. Semangat perubahan itu jua yang mampu menghantarkan pelukis menggores Mahakarya-nya.
Tak cukup sampai di situ. Pelukis maupun seniman tentu mengharap karya seninya tidak semata dapat dinikmati sendiri. Menjadi sebuah kepuasan tak terhingga manakala karya kita dapat juga dinikmati bahkan menjadi inspirator bagi orang lain. Karena bagaimanapun, seorang manusia juga merupakan senyawa bagi manusia lainnya yang selalu menghadirkan perimbangan dan penilaian.
dari berbagai sumber
Hidup Yang Sekali Lagi...........
Posted by Admin | Saturday, January 27, 2007 | ragam | 0 comments »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments
Post a Comment